media_opini
Selasa, 02 November 2021
Kamis, 09 Mei 2019
PURNA WIYATA
Purna Wiyata
Oleh : Yaskin Harianto
Puisi ini saya persembahkan kepada Siswa Kelas 6
MI PSM BAKUR KECAMATAN SAWAHAN
Tahun pelajaran 2018-2019
Sajak hari ini kubawa
Dihadapan hadirin semua
Kubaca buat bapak dan ibu guru tercinta
Disaksikan oleh semua orang tua
Bapak ibu guru kini aku telah purna
Aku berikrar dihadapan orang tua
Purna wiyata di madrasahku tercinta
Selalu kuingat selamanya
Dari aku tak mengenal kata
Dari aku tak mampu mengeja
Kesabaranmu mampu membawa bangga
Kini dunia dalam genggaman nyata
Bapak ibu guru
Hanya do’a yang kuucap
Semoga sabar senantiasa
Yang selalu terhantar
Purnaku bukan sesaat
Jasamu selalu kuingat
Pesanmu selalu rekat
Hingga akhir hayat
Oleh : Yaskin Harianto
Puisi ini saya persembahkan kepada Siswa Kelas 6
MI PSM BAKUR KECAMATAN SAWAHAN
Tahun pelajaran 2018-2019
Sajak hari ini kubawa
Dihadapan hadirin semua
Kubaca buat bapak dan ibu guru tercinta
Disaksikan oleh semua orang tua
Bapak ibu guru kini aku telah purna
Aku berikrar dihadapan orang tua
Purna wiyata di madrasahku tercinta
Selalu kuingat selamanya
Dari aku tak mengenal kata
Dari aku tak mampu mengeja
Kesabaranmu mampu membawa bangga
Kini dunia dalam genggaman nyata
Bapak ibu guru
Hanya do’a yang kuucap
Semoga sabar senantiasa
Yang selalu terhantar
Purnaku bukan sesaat
Jasamu selalu kuingat
Pesanmu selalu rekat
Hingga akhir hayat
Rabu, 10 Juni 2015
CERITA PENDEK (CERPEN)
Senja
hari. Wajah lelaki tua itu tampak semakin gelisah. Guratan di dahi dan tatap
mata yang sedemikian sayu, menyiratkan beratnya beban dan gejolak di dalam
dadanya.
Lelaki
itu masih termenung. Di kejauhan, di atas cahaya perak mentari senja yang
tersaput awan, Pak Dirdjo, lelaki tua itu, semakin melihat serius bayangan
kehidupannya. Sejarah perjalanan hidupnya yang terentang enam puluh tahun
lamannya, tergambar jelas di sana. Berhiaskan bunga-bunga harapan, sebelum ajal
menjemputnya.
Harapan
yang wajar dalam sisa usianya waktu itu, hanyalah kehadiran seorang cucu, yang
kelak diharapkan dapat meneruskan generasinya. Namun harapan yang ternyata tak
lebih dari sebuah obsesi yang mustahil terwujud. Terutama ketika Purwito, anak
sulungnya, tak juga mampu menghadiahkan seorang cucu kepadanya. Terlebih lagi
dengan keputusan Purwito yang dianggap meminggirkan keinginan Pak Dirdjo selaku
ayah kandungnya sendiri.
Di
saat Pak Dirdjo mengharap Purwito mencari istri baru demi sebuah keturunan lantaran
istri pertamanya tak mampu memberinya keturunan, Purwito justru mengangkat anak
dari sebuah panti asuhan. Pak Dirdjo terpaksa menelan kekecewaan. Kini, harapan
untuk memperoleh cucu dari Purwito mustahil kesampaian.
Kemudian,
harapan Pak Dirdjo pada anaknya nomer dua, Astuti. Waktu itu Astuti telah
memiliki pacar. Yang menurutnya pantas masuk dalam lingkungan priyayi. Kepada
Astuti dan Pramono lah, waktu itu Pak Dirdjo menambatkan harapannya untuk
terciptanya sebuah benih generasi baru.
Akan
tetapi, takdir rupanya menghendaki lain. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa
Astuti dari hadapan sang ayah. Perasaan pak Dirdjo remuk redam. Ia kehilangan satu harapan yang
sangat berharga. Sepercik angan indah yang mulai tumbuh, pupuslah sudah. Putri
yang diharapkan menghadirkan pemegang estafet generasi keluarganya telah tiada.
Kini,
satu-satunya yang masih bisa diharapkan hanyalah Sawitri, putri bungsunya yang
bekerja disebuah kantor perpajakan, dan menetap di jakarta. Namun sayang,
sampai sekian tahun Sawitri belum juga punya punya niat untuk menikah. Hati Pak
Dirdjo menjadi galau. Lagi pula, waktu dan jarak telah begitu jauh memisahkan
mereka.
“Sawitri,”
kata Pak Dirdjo suatu ketika, “Ingatlah, makin lama usiamu itu makin bertambah
saja ....,” Pak Dirdjo membuka sebuah percakapan.
Sawitri
diam. Ia hafal benar dengan jurus pembukaan yang sering digunakan ayahnya.
Apapun pembicaraannya, toh paling-paling hanya akan berakhir pada bujukan pada
dirinya untuk menikah. Suatu pembicaraan yang tidak ia sukai.
“Heh,
lagi-lagi soal itu, Ayah,” desis Sawitri. “Kenapa ayah selalu direpotkan oleh
sekadar sebuah perkawinan?”
“Sawitri.
Kau belum pernah merasakan jadi orang tua. Betapa sepinya orang tua seperti
ayah ini, jika tanpa menimang seorang cucu pun. Lagi pula, keluarga kita kan
membutuhkan seorang penerus. Ayah yakin, hanya kau yang mampu memenuhi
keinginan ayah,” ujar pak Dirdjo dengan suara berat.
“Lho, bukankah Ayah sudah punya cucu dari Mas Purwito?”tanya
Sawitri penasaran.
Pak
Dirdjo menatap lekat-lekat puterinya.
“Sawitri.
Kau tau arti seorang cucu sejati dari darah daging keluarga kita sendiri?
Kakakmu tak mampu memenuhi harapan ayah. Anak tak tahu balas budi. Sok sosial.
Huh!” Tampak sekali guratan kemarahan di wajah Pak Dirdjo.
“Ayah!”
potong Sawitri cepat dan menatap ayahnya tak mengerti. “Kenapa Ayah berkata
begitu?”
Pak
Dirdjo menatap lurus ke depan. Terdiam beberapa saat.
“Huh!
Anak mbarep, tak bisa diatur. Tak
bisa menjadi contoh!” Pak Dirdjo masih saja menggerutu.
“Ayah
tak ingin dikecewakan untuk ketiga kalinya.” Oleh karena itu, Pak Dirdjo
menoleh, lalu menatap tajam puterinya. “Ayah telah putuskan sesuatu,”ujar Pak
Dirdjo mantap.
“Tentang
apa?”
“Pernikahan.”
“Ayah
mau menikah lagi?” tanya Sawitri terheran-heran.
“Sawitri!
Jangan bercanda. Ayah serius telah putuskan. Bulan depan kau akan menikah.”
“Ayah
yang bercanda! Ayah sendiri tahu, aku masih ingin meniti karir.”
“Sawitri,
sekali lagi jangan membantah ayah. Undangan pernikahan sudah saya sebar.”
“Apa?”
Bagai disambar petir disiang bolong Sawitri mendengarnya. “Tidak salahkah
keputusan Ayah?”
Pak
Dirdjo menggeleng pelan.
“Itu
sudah keputusan Ayah. Ayah tak ingin kehilangan satu kesempatan lagi.”satu vonis
sepihak benar-benar menghantam dada Sawitri.
“Oohh
... Ayah kejam! Ayah kejam!” Sawitri berteriak-teriak menangis, lalu berlari
meninggalkan ayahnya.
Senja
hari. Lelaki tua itu tergagap dari lamunan. Dari kamar tengah terdengar tangis
seorang bocah kecil. Seorang bocah dari darah dagingnya sendiri, dari rahim
Sawitri, putrinya. Seorang bocah yang dulu menjadi tumpuan harapan untuk
memegang tongkat estafet keluarga terhormat Dirdjo Puspito. Namun kini justru
mengendapkan segudang penyesalan di dada tuanya.
Entah
bagaimana sebabnya, anak itu ternyata terlahir cacat. Kedua kakinya lumpuh tak
berdaya sejak lahir.
Kedua
belah pipi keriput itu perlahan-lahan mulai membasah. Sawitri yang sedari tadi
duduk menemani ayahnya berusaha menekan perasaan sekuat mungkin. Ia mencoba
menguatkan diri menatap wajah ayahnya. Tampak senja semakin muram di wajah tua
itu. Sawitri merasa terpukul. Ia mencoba mencari-cari, masih adakah harapan di
mata ayahnya?
Angin
senja menerpa. Warna perak mentari senja kian hari menghitam tersaput mendung.
“Ayah,
ayo segera ke dalam. Angin malam tidak baik untuk kesehatan ayah.” Sawitri
beranjak, lalu perlahan-lahan memapah, menuntun ayahnya berjalan. Ingin Sawitri
berkata kepada sang Ayah” Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Namun
Sawitri hanya bisa menahannya dalam hati.
WASPADA KALA NYEBOKIN BUAH HATI
Suatu keharusan
bagi orang tua untuk merawat si buah hati, baik kala menyuapi, memandikan,
nyebokin atau yang lainnya. Namun ada saatnya pula bagi orang tua melupakan
hal-hal yang sangat mungkin tidak dipahaminya.
Dalam hal ini
penulis pernah melihat, suatu ketika ada seorang ibu pada saat si buah hati
sedang ee’ dan ngompol. Bergegas si ibu nyebokin si buah hatinya itu pada kran
air yang tidak jauh dari dapur rumahnya.
Kran langsung
dibuka tanpa mempedulikan keadaan air yang mengalir itu. Tersentak si buah hati
menangis sekuat-kuatnya lantaran air kran tersebut ternyata panas oleh sengatan
matahari yang mengenai selang air tersebut.
Dari hal
tersebut sangatlah diharapkan dan suatu perhatian bagi ibu-ibu dalam hal
merawat si buah hati terutama pada saat nyebokin yang mungkin masih
memanfaatkan kran air.
SANTRI KENCINGI KYAI
Kisah 30 Tahun Silam
Ketika
itu jam menunjukkan waktu subuh. Seperti biasanya para santri dibangunkan dari
tidurnya dan masyarakat sekitar berduyun-duyun hendak menunaikan sholat subuh
ketika adzan terdengar.
Kala
itu penerangan masih tradisional yaitu menggunakan lampu ublik, itupun jika
minyak tanahnya ada. Jika tidak jedingpun teramat gelap. Siapapun jika hendak
berwudhu menggunakan indera ke 6, 7, 8 dan seterusnya (kebiasaan maksutnya).
Bersama-sama
wudhu dilakukan di Masjid, bahkan mbahkupun selaku Imam Masjid berwudhu di
jedingan itu. Tentu mbahkulah yang kroso pipis pertama dan dihajatkan di
jedingan itu. Salah satu santri yang bangun pertama diantara santri-santri yang
lainnya bernama Joni dengan mata melek merem ngeloyor menuju jedingan itu yang
juga hendak buang pipis.
Tanpa
sengaja pipis yang diturkan mengenai bahu mbahku itu. Karena mbahku juga sedang
melakukan hajat yang sama, hanya yang membedakan adalah si Joni pipis dengan
berdiri sementara mbahku pipis dengan duduk. Aku mendengar waktu itu si mbahku
nggremeng, "Sopo to iki nguyuhi ghegherku iki". Dengan kagetnya
mendengar suara khas mbahku itu si Joni dengan otomatis pancurannya berhenti
ngeturnya. Lantas mak whet mblayu keluar dari jedingan itu.
Entah
tak tau apakah si Joni langsung pulang atau kemana yang jelas saat itu sholat
subuh agak terlambat karena mbahku harus ados krono najise santri koplak itu.
Sof lowong satu orang saat sholat dimulai oleh karena si Joni tidak ada
dibarisan itu. Keesokan harinya dari insiden itu dikumpulkanlah segenap santri
untuk ditanyai satu persatu. Si Joni dengan tegas mengatakan bahwa dirinyalah
yang mipisi mbah yai itu, dengan alasan "Lha aku gak ngerti kok nek mbah
yai ndek jeding". Semua lantas ngguyu nyekikik dengan tidak berani banter
karena tak lain adalah si Joni itu yang biasa mijeti mbahku. Sebagai putu
akupun ngguyu nyekiakak dewe yang tak seorang santripun berani ngloroi guyuku.
#Pesan
moral; Jika hendak buang hajat (apapun) jangan pecicilan. Lihat keadaan sekitar
meski kini sudah ada listrik dan dengan duduklah sebagaimana yang diajarkan
nabi. Dengan begitu ngetur kita akan aman, selamat hingga tetes terakhir#
Senin, 18 Mei 2015
MEMBANGUN RASA PD
Perasaan Takut
Kiranya
semua orang memiliki rasa takut. Hanya saja tingkatannya berbeda-beda.
Ada sementara orang yang amat penakut. Dengan apa saja mereka takut,
hingga keluar rumah dalam keadaan gelap saja tidak berani. Sebaliknya,
ada orang yang disebut pemberani. Terhadap hal-hal tertentu saja perasaan
takutnya muncul. Perasaan takut tidak bisa dihilangkan sama sekali,
sekalipun yang bersangkutan sudah tua.
Lawan dari
perasaan takut adalah pemberani. Seorang pemberani tidak mudah takut dengan
sesuatu yang dianggap berbahaya. Orang yang berjiwa pemberani
biasanya memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dengan siapapun, orang
pemberani merasa mampu menghadapi. Mereka tidak memiliki perasaan
was-was, atau takut dikalahkan.
Sebenarnya
perasaan takut terehadap sesuatu tidak ada gunanya. Perasaan takut
sebenarnya hanya boleh ditujukan terhadap Tuhan. Selain itu, manusia tidak
perlu takut dengan siapapun. Munculnya rasa takut hanya pertanda bahwa yang
bersangkutan memiliki jiwa kecil, rendah, dan merasa menyandang banyak
kekurangan.
Rasa takut
itu sebenarnya membahayakan. Orang yang selalu ragu terhadap apa saja,
termasuk tatkala mengambil keputusan, maka menunjukkan bahwa yang bersangkutan
dihantui oleh rasa takut itu. Oleh karena itu, perasaan rendah diri,
perasaan bersalah, dan atau perasaan memiliki kekurangan,
harus segera dihilangkan, agar perasaan takut pada dirinya itu segera hilang.
Sebaliknya,
seseorang harus membangun percaya diri. Seseorang yang telah
melakukan kesalahan atau kekeliruan, maka harus segera saja meminta maaf.
Andaikan kesalahan itu terhadap Tuhan, maka harus segera beristighfar.
Sebab perasaan salah atau dirinya serba kekurangan akan
menjadikan yang bersangkutan memiliki sifat rendah diri, peragu,
dan merasa takut.
Perasaan
takut yang berlebihan pada diri seseorang akan menganggu dirinya sendiri.
Seseorang yang peragu, tidak percaya pada diri sendiri, maka akibatnya
hanya sebatas berpidato di muka umum saja menjadi gemetar, takut
disalahkan, kekurangan bahan, atau pidatonya dianggap tidak menarik.
Oleh karena
itu perasaan takut itu harus dihilangkan. Rasulullah, Muhammad saw.,
menganjurkan agar seseorang memiliki keberanian. Bahkan sifat berani dipandang
sebagai bagian dari keimanan seseorang. Seorang muslim tidak selayaknya
memelihara perasaan takut kepada semua hal, kecuali terhadap Allah swt.
Apalagi,
seorang pemimpin. Pemimpin harus memiliki sifat pemberani. Pemimpin yang
berjiwa penakut, maka tatkala mengambil keputusan tidak akan tepat. Oleh karena
ketakutannya itu, maka tatkala mengambil keputusan hanya akan
berorientasi agar dirinya selamat. Pada hal yang utama bagi seorang pemimpin adalah
harus menyelamatkan bagi semua yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, yaitu agar
dirinya dan kelompoknya saja yang selamat. Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)