Kamis, 09 Mei 2019

PURNA WIYATA

Purna Wiyata
Oleh : Yaskin Harianto

Puisi ini saya persembahkan kepada Siswa Kelas 6
MI PSM BAKUR KECAMATAN SAWAHAN
Tahun pelajaran 2018-2019

Sajak hari ini kubawa
Dihadapan hadirin semua
Kubaca buat bapak dan ibu guru tercinta
Disaksikan oleh semua orang tua

Bapak ibu guru kini aku telah purna
Aku berikrar dihadapan orang tua
Purna wiyata di madrasahku tercinta
Selalu kuingat selamanya

Dari aku tak mengenal kata
Dari aku tak mampu mengeja
Kesabaranmu mampu membawa bangga
Kini dunia dalam genggaman nyata

Bapak ibu guru
Hanya do’a yang kuucap
Semoga sabar senantiasa
Yang selalu terhantar

Purnaku bukan sesaat
Jasamu selalu kuingat
Pesanmu selalu rekat
Hingga akhir hayat

Rabu, 10 Juni 2015

CERITA PENDEK (CERPEN)



Senja hari. Wajah lelaki tua itu tampak semakin gelisah. Guratan di dahi dan tatap mata yang sedemikian sayu, menyiratkan beratnya beban dan gejolak di dalam dadanya.
Lelaki itu masih termenung. Di kejauhan, di atas cahaya perak mentari senja yang tersaput awan, Pak Dirdjo, lelaki tua itu, semakin melihat serius bayangan kehidupannya. Sejarah perjalanan hidupnya yang terentang enam puluh tahun lamannya, tergambar jelas di sana. Berhiaskan bunga-bunga harapan, sebelum ajal menjemputnya.
Harapan yang wajar dalam sisa usianya waktu itu, hanyalah kehadiran seorang cucu, yang kelak diharapkan dapat meneruskan generasinya. Namun harapan yang ternyata tak lebih dari sebuah obsesi yang mustahil terwujud. Terutama ketika Purwito, anak sulungnya, tak juga mampu menghadiahkan seorang cucu kepadanya. Terlebih lagi dengan keputusan Purwito yang dianggap meminggirkan keinginan Pak Dirdjo selaku ayah kandungnya sendiri.
Di saat Pak Dirdjo mengharap Purwito mencari istri baru demi sebuah keturunan lantaran istri pertamanya tak mampu memberinya keturunan, Purwito justru mengangkat anak dari sebuah panti asuhan. Pak Dirdjo terpaksa menelan kekecewaan. Kini, harapan untuk memperoleh cucu dari Purwito mustahil kesampaian.
Kemudian, harapan Pak Dirdjo pada anaknya nomer dua, Astuti. Waktu itu Astuti telah memiliki pacar. Yang menurutnya pantas masuk dalam lingkungan priyayi. Kepada Astuti dan Pramono lah, waktu itu Pak Dirdjo menambatkan harapannya untuk terciptanya sebuah benih generasi baru.
Akan tetapi, takdir rupanya menghendaki lain. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa Astuti dari hadapan sang ayah. Perasaan pak Dirdjo  remuk redam. Ia kehilangan satu harapan yang sangat berharga. Sepercik angan indah yang mulai tumbuh, pupuslah sudah. Putri yang diharapkan menghadirkan pemegang estafet generasi keluarganya telah tiada.
Kini, satu-satunya yang masih bisa diharapkan hanyalah Sawitri, putri bungsunya yang bekerja disebuah kantor perpajakan, dan menetap di jakarta. Namun sayang, sampai sekian tahun Sawitri belum juga punya punya niat untuk menikah. Hati Pak Dirdjo menjadi galau. Lagi pula, waktu dan jarak telah begitu jauh memisahkan mereka.
“Sawitri,” kata Pak Dirdjo suatu ketika, “Ingatlah, makin lama usiamu itu makin bertambah saja ....,” Pak Dirdjo membuka sebuah percakapan.
Sawitri diam. Ia hafal benar dengan jurus pembukaan yang sering digunakan ayahnya. Apapun pembicaraannya, toh paling-paling hanya akan berakhir pada bujukan pada dirinya untuk menikah. Suatu pembicaraan yang tidak ia sukai.
“Heh, lagi-lagi soal itu, Ayah,” desis Sawitri. “Kenapa ayah selalu direpotkan oleh sekadar sebuah perkawinan?”
“Sawitri. Kau belum pernah merasakan jadi orang tua. Betapa sepinya orang tua seperti ayah ini, jika tanpa menimang seorang cucu pun. Lagi pula, keluarga kita kan membutuhkan seorang penerus. Ayah yakin, hanya kau yang mampu memenuhi keinginan ayah,” ujar pak Dirdjo dengan suara berat.
“Lho, bukankah Ayah sudah punya cucu dari Mas Purwito?”tanya Sawitri penasaran.
Pak Dirdjo menatap lekat-lekat puterinya.
“Sawitri. Kau tau arti seorang cucu sejati dari darah daging keluarga kita sendiri? Kakakmu tak mampu memenuhi harapan ayah. Anak tak tahu balas budi. Sok sosial. Huh!” Tampak sekali guratan kemarahan di wajah Pak Dirdjo.
“Ayah!” potong Sawitri cepat dan menatap ayahnya tak mengerti. “Kenapa Ayah berkata begitu?”
Pak Dirdjo menatap lurus ke depan. Terdiam beberapa saat.
“Huh! Anak mbarep, tak bisa diatur. Tak bisa menjadi contoh!” Pak Dirdjo masih saja menggerutu.
“Ayah tak ingin dikecewakan untuk ketiga kalinya.” Oleh karena itu, Pak Dirdjo menoleh, lalu menatap tajam puterinya. “Ayah telah putuskan sesuatu,”ujar Pak Dirdjo mantap.
“Tentang apa?”
“Pernikahan.”
“Ayah mau menikah lagi?” tanya Sawitri terheran-heran.
“Sawitri! Jangan bercanda. Ayah serius telah putuskan. Bulan depan kau akan menikah.”
“Ayah yang bercanda! Ayah sendiri tahu, aku masih ingin meniti karir.”
“Sawitri, sekali lagi jangan membantah ayah. Undangan pernikahan sudah saya sebar.”
“Apa?” Bagai disambar petir disiang bolong Sawitri mendengarnya. “Tidak salahkah keputusan Ayah?”
Pak Dirdjo menggeleng pelan.
“Itu sudah keputusan Ayah. Ayah tak ingin kehilangan satu kesempatan lagi.”satu vonis sepihak benar-benar menghantam dada Sawitri.
“Oohh ... Ayah kejam! Ayah kejam!” Sawitri berteriak-teriak menangis, lalu berlari meninggalkan ayahnya.
Senja hari. Lelaki tua itu tergagap dari lamunan. Dari kamar tengah terdengar tangis seorang bocah kecil. Seorang bocah dari darah dagingnya sendiri, dari rahim Sawitri, putrinya. Seorang bocah yang dulu menjadi tumpuan harapan untuk memegang tongkat estafet keluarga terhormat Dirdjo Puspito. Namun kini justru mengendapkan segudang penyesalan di dada tuanya.
Entah bagaimana sebabnya, anak itu ternyata terlahir cacat. Kedua kakinya lumpuh tak berdaya sejak lahir.
Kedua belah pipi keriput itu perlahan-lahan mulai membasah. Sawitri yang sedari tadi duduk menemani ayahnya berusaha menekan perasaan sekuat mungkin. Ia mencoba menguatkan diri menatap wajah ayahnya. Tampak senja semakin muram di wajah tua itu. Sawitri merasa terpukul. Ia mencoba mencari-cari, masih adakah harapan di mata ayahnya?
Angin senja menerpa. Warna perak mentari senja kian hari menghitam tersaput mendung.
“Ayah, ayo segera ke dalam. Angin malam tidak baik untuk kesehatan ayah.” Sawitri beranjak, lalu perlahan-lahan memapah, menuntun ayahnya berjalan. Ingin Sawitri berkata kepada sang Ayah” Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Namun Sawitri hanya bisa menahannya dalam hati.

WASPADA KALA NYEBOKIN BUAH HATI



Suatu keharusan bagi orang tua untuk merawat si buah hati, baik kala menyuapi, memandikan, nyebokin atau yang lainnya. Namun ada saatnya pula bagi orang tua melupakan hal-hal yang sangat mungkin tidak dipahaminya.
Dalam hal ini penulis pernah melihat, suatu ketika ada seorang ibu pada saat si buah hati sedang ee’ dan ngompol. Bergegas si ibu nyebokin si buah hatinya itu pada kran air yang tidak jauh dari dapur rumahnya.
Kran langsung dibuka tanpa mempedulikan keadaan air yang mengalir itu. Tersentak si buah hati menangis sekuat-kuatnya lantaran air kran tersebut ternyata panas oleh sengatan matahari yang mengenai selang air tersebut.
Dari hal tersebut sangatlah diharapkan dan suatu perhatian bagi ibu-ibu dalam hal merawat si buah hati terutama pada saat nyebokin yang mungkin masih memanfaatkan kran air.

SANTRI KENCINGI KYAI

Kisah 30 Tahun Silam

Ketika itu jam menunjukkan waktu subuh. Seperti biasanya para santri dibangunkan dari tidurnya dan masyarakat sekitar berduyun-duyun hendak menunaikan sholat subuh ketika adzan terdengar.

Kala itu penerangan masih tradisional yaitu menggunakan lampu ublik, itupun jika minyak tanahnya ada. Jika tidak jedingpun teramat gelap. Siapapun jika hendak berwudhu menggunakan indera ke 6, 7, 8 dan seterusnya (kebiasaan maksutnya).

Bersama-sama wudhu dilakukan di Masjid, bahkan mbahkupun selaku Imam Masjid berwudhu di jedingan itu. Tentu mbahkulah yang kroso pipis pertama dan dihajatkan di jedingan itu. Salah satu santri yang bangun pertama diantara santri-santri yang lainnya bernama Joni dengan mata melek merem ngeloyor menuju jedingan itu yang juga hendak buang pipis.

Tanpa sengaja pipis yang diturkan mengenai bahu mbahku itu. Karena mbahku juga sedang melakukan hajat yang sama, hanya yang membedakan adalah si Joni pipis dengan berdiri sementara mbahku pipis dengan duduk. Aku mendengar waktu itu si mbahku nggremeng, "Sopo to iki nguyuhi ghegherku iki". Dengan kagetnya mendengar suara khas mbahku itu si Joni dengan otomatis pancurannya berhenti ngeturnya. Lantas mak whet mblayu keluar dari jedingan itu.

Entah tak tau apakah si Joni langsung pulang atau kemana yang jelas saat itu sholat subuh agak terlambat karena mbahku harus ados krono najise santri koplak itu. Sof lowong satu orang saat sholat dimulai oleh karena si Joni tidak ada dibarisan itu. Keesokan harinya dari insiden itu dikumpulkanlah segenap santri untuk ditanyai satu persatu. Si Joni dengan tegas mengatakan bahwa dirinyalah yang mipisi mbah yai itu, dengan alasan "Lha aku gak ngerti kok nek mbah yai ndek jeding". Semua lantas ngguyu nyekikik dengan tidak berani banter karena tak lain adalah si Joni itu yang biasa mijeti mbahku. Sebagai putu akupun ngguyu nyekiakak dewe yang tak seorang santripun berani ngloroi guyuku.

#Pesan moral; Jika hendak buang hajat (apapun) jangan pecicilan. Lihat keadaan sekitar meski kini sudah ada listrik dan dengan duduklah sebagaimana yang diajarkan nabi. Dengan begitu ngetur kita akan aman, selamat hingga tetes terakhir#

Senin, 18 Mei 2015

MEMBANGUN RASA PD



Perasaan Takut

Kiranya semua orang memiliki rasa takut. Hanya saja tingkatannya  berbeda-beda. Ada sementara orang yang  amat penakut. Dengan apa saja mereka takut, hingga  keluar rumah dalam keadaan gelap saja tidak berani. Sebaliknya, ada orang yang disebut pemberani. Terhadap hal-hal tertentu saja perasaan takutnya muncul.   Perasaan takut tidak bisa dihilangkan sama sekali, sekalipun yang bersangkutan sudah tua.
Lawan dari perasaan takut adalah pemberani. Seorang pemberani tidak mudah takut dengan sesuatu yang dianggap  berbahaya. Orang yang berjiwa  pemberani biasanya memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dengan siapapun, orang pemberani merasa mampu menghadapi.  Mereka tidak memiliki perasaan was-was, atau takut dikalahkan.
Sebenarnya perasaan  takut terehadap sesuatu tidak ada gunanya. Perasaan takut  sebenarnya hanya boleh ditujukan terhadap Tuhan. Selain itu, manusia tidak perlu takut dengan siapapun. Munculnya rasa takut hanya pertanda bahwa yang bersangkutan memiliki jiwa kecil, rendah,  dan merasa menyandang banyak kekurangan.
Rasa takut itu sebenarnya  membahayakan. Orang yang selalu ragu terhadap apa saja, termasuk tatkala mengambil keputusan, maka menunjukkan bahwa yang bersangkutan dihantui oleh rasa takut itu. Oleh karena itu, perasaan rendah diri,  perasaan  bersalah, dan atau perasaan memiliki  kekurangan,  harus segera dihilangkan, agar perasaan takut pada dirinya itu segera hilang.
Sebaliknya, seseorang harus  membangun percaya diri.  Seseorang yang  telah melakukan kesalahan atau kekeliruan, maka harus segera saja meminta maaf. Andaikan  kesalahan itu terhadap Tuhan, maka harus segera beristighfar. Sebab  perasaan salah atau dirinya serba kekurangan  akan  menjadikan yang bersangkutan  memiliki sifat rendah diri, peragu,  dan merasa takut.
Perasaan takut yang berlebihan pada diri seseorang akan menganggu dirinya sendiri. Seseorang yang peragu, tidak percaya pada diri sendiri, maka akibatnya  hanya sebatas berpidato di muka umum saja menjadi gemetar, takut  disalahkan, kekurangan bahan, atau pidatonya dianggap tidak menarik.
Oleh karena itu perasaan takut itu harus dihilangkan. Rasulullah, Muhammad saw., menganjurkan agar seseorang memiliki keberanian. Bahkan sifat berani dipandang sebagai bagian dari keimanan seseorang.  Seorang muslim tidak selayaknya memelihara perasaan takut kepada semua hal, kecuali terhadap Allah swt.
Apalagi,  seorang pemimpin. Pemimpin harus memiliki sifat pemberani. Pemimpin yang berjiwa penakut, maka tatkala mengambil keputusan tidak akan tepat. Oleh karena ketakutannya itu, maka tatkala mengambil keputusan hanya akan  berorientasi agar dirinya selamat. Pada hal yang utama bagi seorang pemimpin adalah harus menyelamatkan bagi semua yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, yaitu agar dirinya dan kelompoknya saja yang selamat. Wallahu a’lam.